1.
Akhir Sekolah
Desa kecil di lereng bukit. Tak jelas perbukitan. Tepat
disebut dataran tinggi. Dikelilingi pegunungan di setiap sisinya. Jika menapaki
dari kota Medan, desa ini harus dilalui selama empat jam perjalanan. Jalanan
terjal dan meliuk curam. Curam nan indah. Sepanjang perjalanan menghampar sawah
ladang. Hutan yang masih hijau. Tebing di kanan dan jurang di sisi kiri. Indahnya
permadani lukisan Pencipta alam semesta. Desa itu adalah desa Sinehu. Mungkin
tak terkenal. Ya, memang tak terkenal karena kalian tidak pernah kenalan
dengannya. Hehe...
Walau sudah banyak rumah beton. Tak jarang masih ditemui
deretan rumah panggung khas adat Batak. Sebagian ada yang menjadikan kolong
jadi kandang kambing. Sebagian lain menjadi tempat menimbun kayu bakar. Malah
ada yang kosong melompong begitu saja.
Pagi begitu cerah. Padahal jarum jam pendek masih di
angka enam. Embun tak lagi sejuk. Sebab titik demi titiknya diterpa sinar
mentari. Biasanya jam segitu mash gelap. Sang mentari rupanya nongol lebih
awal. Aragar manusia tak terbuai terus dalam mimpinya. Seluruh penghuni bumi
mulai beranjak. Mencari setitik berkah bumi dan langit. Mengais rizki di
hamparan sawah dan ladang. Sekawanan burung berkicau menyambut indahnya hari
ini.
Hilir mudik mobil silih berganti. Berdesakan berburu
agar segera lekas tiba di tujuan. Tak ada guratan lelah di dahi para pengemudi.
Setiap pagi dihiasi dengan senyum. Tak peduli jika hari-hari harus terus
bergumul dengan polutan di jalanan. Semua demi sesuap nasi dan sebongkah
berlian.
Aah, bukan desa terkenal. Pemandangan hilir mudik mobil
hanya akan terjadi jika disini ada kondangan. Atau jika hari Sabtu tiba, sebab
ada pasarnya. Ramai orang berjualan, dari sayuran, ikan asin, perabotan rumah
tangga, buah, bahkan hasil-hasil pertanian warga. Desa ini tidak banyak mobil
apalagi bus sekolah. Siswa akan naik mobil pick
up yang didesain sebagai mobil pengangkut sewa. Begitu malunya kami bila
mobil pick up itu menurunkan kami pas di depan sekolah. Teman-teman yang lain
akan menyoraki kami ini adalah sekawanan “sapi” yang akan dijual. Padahal
sekolah kami juga terbilang di hutan. Oh No! Ya begitulah kondisi kami. Naik
mobil “sapi” itu kalau kebetulan punya uang buat ongkos. Bagi yang nggak punya
terpaksa harus jalan kaki. Menyusuri perjalanan selama dua puluh sampai tiga
puluh menit.
Jalan ke desa ini tidak mulus. Sudah aspal tapi hancur
ditelan usia. Sudah bertahun-tahun lamanya tidak ada pembangunan. Padahal silih
berganti terjadi pergantian Bupati, Kepala Desa, pun pergantian Gubernur. Tetap
saja desa kami nihil dari perhatian pemerintah. Jalanan yang hancur itulah yang
setiap harinya menjadi pijakan warga desa kami. Hmm, ke sekolah jalan kaki, jalanan
terjal, tetap ditelusuri bak mendaki gunung demi satu cita-cita. Tetap semangat
menatap masa depan. Berawal dari sekolah dan menuntut ilmu.
Terlihat anak-anak SMP sudah lengkap dengan seragam
putih birunya. Sudah mulai berangkat ke sekolah. Jika mereka tak berangkat
pagi, resikonya terlambat. Jadi mereka harus berangkat jam enam atau sebelumnya.
Terbayang akan jalan kaki sejauh delapan kilometer pulang pergi. Letih, capek,
keringatan, kepanasan, hujan deras bahkan tak menyurutkan niat mereka untuk
tetap berangkat sekolah. Mereka pun tidak lupa sarapan. Tak jarang orang tua
membawakan mereka bekal makan siang. Karena mereka akan tiba di rumah jam tiga
siangnya. Begitulah keseharianku dulu waktu masih SMP.
Terlihat juga para petani, bapak-bapak yang memanggul
cangkulnya. Ibu-ibu mengikuti dibelakangnya dengan ember berisi bekal makan
siang selama di ladang. Mereka akan kembali lagi jika matahari telah tenggelam
di ufuk Barat. Tak sedikitpun ada gurat muram diwajah mereka. Hanya aka
nyeletuk jika tiba-tiba harga pupuk dan racun pemusnah ilalang meroket. Ada
sebagian yang mampu merawat tanamannya dengan baik. Tak jarang dibiarkan saja
tanpa pemupukan.
Begitulah rutinitas di pagi hari di desaku. Desa yang
bisa disebut cukup luas dan kaya akan lahan pertanian dan perkebunan kopi
robusta. Bahkan hasil kopi bubuknya terkenal hingga ke luar negeri. Kenalkan
nama produk kopi bubuknya adalah kopi Sidikalang. Hehe...ada yang pernah
nyicipin? Tak kalah kualitasnya dengan kopi luwak yang sekarang tenar-tenarnya.
***
Oh ya, kenalkan namaku Moza. Teman-teman suka memanggilku
Oza atau Onza. Nama lengkap sebenarnya Al-Khanza tapi karena lidah orang batak
sulit nyebut namaku yang rada-rada ke-Arab-an itu, ya harus rela dipanggil
Moza. Apalah arti sebuah nama asal mereka memanggilku dengan nama yang baik
lagi kusukai.
Aku sekolah di SMAN 1 Sinehu. Salah satu SMA di desa
kami. Baru berdiri sekitar dua tahun sebelum aku kelas satu disana. Sekitar
tahun 2006 lalu. Kami angkatan ketiga di sekolah itu. Bayangkan saja, sekolah
yang baru berdiri. Waktu itu gedungnya hanya ada tiga. Masing-masing satu kelas
dari kelas satu sampai tiga. Sehingga, ketika angkatan kami masuk kelas itu jadi
tak memadai menampung siswa baru. Kami waktu itu ada dua kelas. Sedangkan
ruangannya hanya tiga dan satu ruang kantor guru. Letak kantor guru dan ruangan
kelas berhadapan dengan jarak yang lumayan jauh. Di sebelah kanan pintu masuk
sekolah ada sebuah kantin.
Mengantisipasi keterbatasan ruangan tersebut, kami
bergiliran memakai ruangannya. Pagi hari ruangan dipakai untuk kelas dua dan
tiga. Sedangkan sore hari dipakai oleh kelas satu. Jadi tak heran jika kami
pulang sekolah jam enam sore. Kami lalui kondisi tersebut selama satu semester
penuh. Setelahnya ada bantuan untuk pembangunan dua rungan kelas lagi.
Sekolah kami jauh dari keramaian. Berada di tengah sawah
ladang penduduk. Di perbukitan dan dihimpit sebuah bukit namanya Dolok Siraut.
Bukit tersebut adalah tempat penambangan batu kapur. Disana juga banyak
penambang yang mengais batu gamping. Batu gamping ini digunakan untuk membuat
dolomit. Dolomit berfungsi untuk menyuburkan lahan pertanian yang rata-rata
gersang di kabupatenku.
Dari jalan raya lintas kota Sidikalang-Tigalingga masuk
ke dalam sejauh 100 atau 150 meter. Jadi tidak ada kebisingan atau hiruk pikuk
kendaraan. Yang ada malah sejuk, dingin, dan sunyi. Jalan ke sekolah awalnya
masih bebatuan belum diaspal. Tidak ada angkot kesini. Hanya ada satu dua
itupun pada saat-saat tertentu saja.
Oh ya, kondisi tiga ruangan kelas tersebut juga cukup
miris. Masih berlantai semen dan berdinding bata belum diplester. Tanah
lapangan yang kerap dipakai upacara berwarna merah. Jika hujan menempel di
sepatu, jika kemarau debunya beterbangan kemana-mana. Cukup gersang. Tak ada
tanaman bunga yang tumbuh indah disini. Kecuali bunga yang tumbuh di taman di
depan kelas. Dan beberapa pepohonan pinus yang sengaja ditanam untuk
merindangkan sekolah.
Walaupun begitu, aku tak pernah berhati kecil bersekolah
disana. Tiga tahun sekolah disana tetap saja aku mampu bersiang dengan orang
yang sekolah di kota. Hal ini, ketika ak ikut event olimpiade sains aku masih
mampu menyandang peringkat sepuluh besar dari puluhan sekolah SMA sederajat di
Kabupatenku. Olimpiade sains bidang astronomi maupun bidang Biologi. Setidaknya
berdasarkan kualitas sekolahku tidak kalah saing.
Sejak SMP hingga SMA aku selalu membintangi juara kelas.
Walau tak selalu bertengger di peringkat pertama. Tapi aku selalu mengantongi
peringkat tiga besar selama sekolah. Bahkan ketika SMP aku pernah menjadi juara
tiga umum dari 200 siswa lima kelas paralel. Aku sangat menikmati dunia
pendidikan. Bahkan aku merasa itulah satu-satunya cara untuk mengubah nasib.
Kenapa aku begitu peduli pada pendidikan? Dan kenapa
mampu bertahan dan tetap bersinar walau terdampar di sekolah yang –menurut orang–
tidak elit sama sekali?
Mungkin banyak bernasib serupa denganku. Sejak SMP aku
sudah tidak tinggal bersama orangtuaku. Sejak ayahku meninggal ketika aku masih
kelas lima SD. Ibuku hanya mampu menyekolahkanku hingga tamat SD saja. Sepeninggal
ayah, Ibu menjadi tulang punggung tunggal dalam keluarga kami.
Kami ada tujuh orang bersaudara. Aku anak ketiga dari
ketujuhnya. Kakakku yang pertama namanya Nur hanya sekolah sampai kelas dua SMP
karena terkendala biaya sekolah. Akhirnya ia berhenti sekolah dan bekerja di
kota. Abangku yang kedua namanya Syarif juga berhenti sekolah sampai kelas satu
SMP saja. Kata orang karena dia bandal tapi bukan itu alasannya. Sama nasibnya
dengan kakakku. Dia juga memutuskan merantau.
Dengan bantuan mereka kami dapat melanjutkan sekolah. Ada
empat orang lagi adik lagi dibawahku. Semuanya sekolah di desa ini kecuali yang
kelima, sejak kelas dua SD dia dibawa pamanku ke Jakarta. Namanya Susi. Ia
dibawa setelah ayahku meninggal.
Aku tinggal di
rumah nenekku sejak SMP hingga SMA. Sedangkan adikku yang keempat juga turut
tinggal bersamaku di rumah nenek. Dia kelas satu dan aku kelas tiga SMA. Nenek
yang memintanya. Jarak rumah nenek tidak begitu jauh dari rumahku. Hanya jalan
kami satu menit saja sampai. Jadi, hanya ada dua adikku yang tinggal bersama
ibu. Mereka adalah Uti dan Dedek.
Ibuku, layak kuacungi jempol dari setiap tetes peluhnya
memperjuangkan kedua adikku itu sekolah. Dulu, ibuku tak pernah ke ladang.
Bahkan memacul sawahpun ia tak pernah. Namun, demi keduanya ia memacul sawah
dan bekerja membanting tulang di ladang orang. Terkadang hatiku sangat teriris
sakit. Tak ada yang bisa kulakukan untuk membantu ibuku. Sementara aku juga
dibiayai orang lain. Mungkin, jika bersama ibu aku tak akan bisa melanjutkan
sekolah hingga SMA seperti ini. Tapi itu hanya mungkin. Sebab rizki Allah siapa
yang tahu?
Aku hanya bisa berdoa semoga Allah memberi kekuatan dan
kesehatan pada ibuku. Hingga kelak kami mampu meringankan beban beratnya. Sosoknya
mengingatkanku pada ayah. Ayah yang telah menjadikan siangnya untuk mencari
nafkah demi kami.
---------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar