Rabu, 24 April 2013

Remaja Harus “Ngompol”


Siapa itu remaja? Survei membuktikan bahwa remaja bukanlah anak-anak, dewasa, apalagi nenek-kakek. Jadi rentangan usia remaja itu masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa. Nah, istilah kerennya sering disebut ABG (anak baru gede). Banyak orang berbicara bahwa remaja itu masa yang indah. Sehingga remaja mendefenisikan kata ‘indah’ dengan melakukan hal-hal yang dianggap menarik. Tak jarang dari mereka merasa ogah jika diajak diskusi serius. Apalagi yang erat hubungannya dengan problematika masyarakat.
Bagi mereka kerusakan masyarakat saat ini bukan tanggungjawabnya tapi itu porsi para orang dewasa dan orangtua. Kenyataan ini dibuktikan ketika kita menanyakan pendapat mereka tentang sebuah kejadian. Misalnya terkait dengan masalah korupsi yang kini kian menjalar hebat dan tak pandang bulu. Menurut mereka korupsi itu urusan orang-orang yang paham politik saja. Semua itu permainan politik, begitu celoteh mereka.
Apa pendapat mereka tentang politik? Diantaranya berpendapat “Tidak ada kawan sejati, tidak ada lawan abadi, yang ada kepentingan pribadi”, yang lainnya “Ngeri identik dengan pembunuhan, kekejaman dari pihak lawan”, “Jadi politikus seperti badut-badut politik banyak bicara tanpa aksi”. Itu bagi mereka yang jengah melihat apa yang disaksikan oleh matanya setiap detik di media massa maupun elektronik. Ada juga yang malah menjawab “Tidak tahu”, atau “Emang gue pikirin? Nggak tahu ah gelap, yang penting gue enjoy!”. Ini karena mereka mengindetintakkan politik dengan kekuasaan.
Jika diperhatikan dari pendapat mereka tentang politik, tak satupun diantara mereka peduli dengan politik itu sendiri. Peduli dalam artian mau mengambil andil dalam bersikap dan bertindak memperbaiki persepsi yang salah tentang politik. Padahal usia remaja adalah usia yang sudah layaknya memikirkan masa depan bangsa.
Hal ini bukan basa-basi. Buktinya remaja memiliki peran yang sangat penting dalam perubahan. Artinya remaja berpotensi melahirkan perubahan dan kebangkitan. Kenapa? Karena remaja memiliki potensi sebagai “Agent Of Change” atau agen perubahan, yang mampu mengubah kondisi masyarakat.
Misalnya peran pemuda pada revolusi Perancis di awal abad 17, yang diperintah oleh raja-raja absolute yang menyatakan bahwa raja memerintah atas suara ‘Tuhan’. Kondisi sistem ekonomi dengan sistem pajak yang buruk mendorong terjadinya revolusi Perancis. Revolusi ini dipelopori oleh kaum remaja atau pemuda yang berhasil menggulingkan sistem monarki.
Di Indonesia, remaja atau pemuda juga berperan dalam penggulingan rezim Soeharto. Sejarah telah mencatat kiprah mereka yang penuh semangat dan jiwanya sebagai taruhan. Tak ada yang memungkiri bahwa peran serta pemuda dalam perubahan besar selalu jadi sorotan. Semangat juang pemuda telah mampu membawa bangsa ini pada era baru yang membungkam kebiadaban rezim Orde Baru. Dikenallah perubahan itu dengan sebutan masa reformasi.
Kian berputarnya waktu, pemuda tak lagi menampakkan perannya di kancah perubahan nasib bangsa. Bahkan saat ini ditemui pemudalah yang menjadi anak bangsa yang lalai dari tugasnya sebagai agen perubahan. Gaya hidup yang disodorkan asing telah meluluhlantahkan idealismenya. Mereka lebih suka berkecimpung pada kehidupan yang hedonis, materialistik dan terjebak dalam gaya hidup bebas.
Jika kemudian kita mengkaji, kenapa dahulu sebuah rezim mampu digulingkan oleh pemuda? Jawabannya tentu saja saat itu pemuda paham akan arah politik bangsanya. Pemuda mengamati dan mempelajari situasi politik yang kian mengorbankan rakyat kecil. Sikap jeli itu menunjukkan betapa kualitas pemuda dulu dengan sekarang bertolak belakang.
Nah, itu jika ditinjau dari kondisi pemudaanya. Namun bagaimana jika kita tinjau dari segi perubahannya? Apakah penggulingan rezim saja mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat? Ataukah malah makin memperparah kerusakan setelah era reformasi?
Wajah Indonesia Kita, Tempat Kita Berkarya
Pengamatan yang sangat mendalam dan cemerlang, kita akan menemukan bahwa perubahan rezim saja tidak lantas mengubah nasib bangsa ini. Peristiwa yang paling parah pun digelar di kancah kehidupan ini. Kita dibuat heran saat mata tak mampu lagi menyaksikan kerusakan yang luar biasa. Menelisik setiap sendi-sendi kehidupan. Sampai kita gerah dan tak habis pikir seraya bertanya “sampai kapan ini berakhir?”
Diantaranya, korupsi kian merajalela tak hanya dari golongan pejabat tapi merambah pada elit politik, para petinggi hukum, bahkan di kalangan Penguasa. Jadi tak heran jika hal serupa juga tercium di kalangan Gubernur, Bupati, pun Lurah. Sejak merdekanya negeri ini hingga detik ini masalah korupsi tak kunjung usai malah tumbuh subur. Tak hanya korupsi, kasus separatisme kian meresahkan. Kemiskinan dan gizi buruk merebak tumbuh seolah mempertanyakan bahwa kita ini ibarat anak ayam yang mati di lumbung padi.
Jika pada masa ORBA rezim represif berlaku, namun RUU Inteligen, RUU Ormas yang tengah digodok seolah-olah akan mengembalikan bangsa ini pada rezim repsesif yang lebih parah. Jika ini yang disebut dengan kedewasaan dalam kehidupan berdemokrasi, bukankah ini bentuk kemerosotan demokrasi itu sendiri? Belum lagi mata pedih menyaksikan semua pemberitaan ini, bangsa ini kembali disodorkan pada rusaknya moral anak bangsa, amburadulnya sistem pendidikan yang tak mampu mencetak generasi cemerlang.
Saat ingin menjerit dengan fenomena itu, kita dibuat bungkam tanpa bahasa saat naiknya BBM, naiknya TDL yang berimbas pada perekonomian negeri ini. Lantas sampai kapan semua ini berakhir?
Ternyata, pergantian rezim tanpa mengubah sistem aturan tak mampu mengembalikan bangsa ini pada cita-citanya untuk mensejahterakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak mampu menghantarkan bangsa ini pada kemerdekaan yang hakiki, karena sebagian besar kekayaan negeri ini dikuasai asing. Tak lantas mencerdaskan kehidupan bangsa sebab tingginya biaya pendidikan yang tak sanggup dijangkau kalangan miskin. Ditambah buruknya fasilitas pendidikan, padahal disatu sisi para pejabat sibuk ingin merenovasi gedung DPR dengan biaya yang melangit luas. Ada apa dengan bangsa ini?
Wajah buruk demokrasi akhirnya terkuak. Sistem ini telah membuang hak asasi manusia dan prinsip-prinsip keadilan hukum. Sistem demokrasi telah menunjukkan jatidirinya yang asli: menindas rakyat. Demokrasi hanyalah ‘kuda tunggangan’ bagi penguasa dan pemilik modal, sementara rakyat hanya dijadikan obyek eksploitasi kepentingan mereka. Wajar jika banyak keputusan, kebijakan, UU atau peraturan yang dihasilkan melalui proses demokrasi nyata-nyata lebih berpihak kepada mereka ketimbang kepada rakyat.
Solusi Tuntas Problematika Bangsa
Setidaknya ada dua faktor utama di balik berbagai persoalan yang timbul, sejauh ini dapat disimpulkan karena : sistem yang bobrok (yakni sistem Kapitalisme-sekular, termasuk demokrasi di dalamnya) dan pemimpin (penguasa/wakil rakyat) yang tak amanah.
Sejauh perjalanan bangsa ini, setiap solusi yang ditawarkan tak mampu menyelesaikan masalah. Suatu kepastian yang bisa dengan tegas kita nyatakan bahwa solusi yang ditawarkan justru melahirkan masalah yang baru. Jika diibaratkan sistem kapitalisme-demokrasi adalah sistem tambal sulam. Tak heran, karena setiap solusi pasti mengandung kepentingan-kepentingan asing. Jika sudah demikian, kepada siapa kita berharap? Masihkah kita berharap pada kapitalisme? Atau adakah sistem dan pemimpin yang amanah untuk mengakhiri semua ini?
Jawabannya : ADA. Karena itu, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan di atas, kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya datang dari Zat Yang Maha Baik, Allah SWT. Itulah syariah Islam yang diterapkan dalam sistem Khilafah. Adapun pemimpin yang amanah adalah yang mau sungguh-sungguh menjalankan sistem yang baik itu itu.
Sejarah mencatat bahwa dalam penerapan syariah Islam selama 14 abad telah berhasil mengungguli dua imperium besar yaitu imperium Persia dan Romawi. Hal ini membuktikan bahwa peradaban Islam ketika memimpin dunia tak ditemui kecacatan kecuali penyimpangan di beberapa bagian saja.
Disinilah urgensinya peran pemuda atau remaja harus ‘ngompol’ atau ngomong politik, untuk bersama-sama mengambil andil di kancah perpolitikan. Masalah politik bukanlah urusan mereka yang di kursi DPR atau diserahkan pada ahlinya. Justru selama ini ahlinya-lah yang menjungkirbalikkan negeri ini ke derajat terendah. Kesejahteraan yang didambakan tak kunjung berbuah nyata, justru kebalikannya yang kita tuai.
Kita harus memahami bahwa politik bukanlah perkara kursi kekuasaan. Tapi politik adalah mengurusi urusan umat/rakyat. Pengurusan urusan umat mutlak dilakukan oleh pemerintah sepenuhnya. Pemerintah bertanggungjawab memenuhi kebutuhan dasar individu (sandang, pengan, papan) dan masyarakat (pendidikan, kesehatan, keamanan). Hal ini akan terwujud hanya dengan diterapkannya hukum-hukum sang Pencipta dalam kehidupan. Mari bergerak, berkarya, dan berjuang untuk mengembalikan kehidupan Islam sebagai konsekuensi keimanan kita. Islam adalah rahmatan lil alamin dan akan mensejahterakan seluruh umat manusia. Wallahu a’lam bishawab. []