Siapa itu remaja? Survei membuktikan
bahwa remaja bukanlah anak-anak, dewasa, apalagi nenek-kakek. Jadi rentangan
usia remaja itu masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa. Nah, istilah
kerennya sering disebut ABG (anak baru gede). Banyak orang berbicara bahwa
remaja itu masa yang indah. Sehingga remaja mendefenisikan kata ‘indah’ dengan
melakukan hal-hal yang dianggap menarik. Tak jarang dari mereka merasa ogah
jika diajak diskusi serius. Apalagi yang erat hubungannya dengan problematika
masyarakat.
Bagi mereka kerusakan masyarakat saat
ini bukan tanggungjawabnya tapi itu porsi para orang dewasa dan orangtua.
Kenyataan ini dibuktikan ketika kita menanyakan pendapat mereka tentang sebuah
kejadian. Misalnya terkait dengan masalah korupsi yang kini kian menjalar hebat
dan tak pandang bulu. Menurut mereka korupsi itu urusan orang-orang yang paham
politik saja. Semua itu permainan politik, begitu celoteh mereka.
Apa pendapat mereka tentang politik? Diantaranya
berpendapat “Tidak ada kawan sejati, tidak ada lawan abadi, yang ada
kepentingan pribadi”, yang lainnya “Ngeri identik dengan pembunuhan, kekejaman
dari pihak lawan”, “Jadi politikus seperti badut-badut politik banyak bicara
tanpa aksi”. Itu bagi mereka yang jengah melihat apa yang disaksikan oleh
matanya setiap detik di media massa maupun elektronik. Ada juga yang malah
menjawab “Tidak tahu”, atau “Emang gue pikirin? Nggak tahu ah gelap, yang
penting gue enjoy!”. Ini karena mereka mengindetintakkan politik dengan
kekuasaan.
Jika diperhatikan dari pendapat mereka
tentang politik, tak satupun diantara mereka peduli dengan politik itu sendiri.
Peduli dalam artian mau mengambil andil dalam bersikap dan bertindak
memperbaiki persepsi yang salah tentang politik. Padahal usia remaja adalah
usia yang sudah layaknya memikirkan masa depan bangsa.
Hal ini bukan basa-basi. Buktinya remaja
memiliki peran yang sangat penting dalam perubahan. Artinya remaja berpotensi
melahirkan perubahan dan kebangkitan. Kenapa? Karena remaja memiliki potensi
sebagai “Agent Of Change” atau agen
perubahan, yang mampu mengubah kondisi masyarakat.
Misalnya peran pemuda pada revolusi
Perancis di awal abad 17, yang diperintah oleh raja-raja absolute yang menyatakan
bahwa raja memerintah atas suara ‘Tuhan’. Kondisi sistem ekonomi dengan sistem
pajak yang buruk mendorong terjadinya revolusi Perancis. Revolusi ini
dipelopori oleh kaum remaja atau pemuda yang berhasil menggulingkan sistem
monarki.
Di Indonesia, remaja atau pemuda juga
berperan dalam penggulingan rezim Soeharto. Sejarah telah mencatat kiprah
mereka yang penuh semangat dan jiwanya sebagai taruhan. Tak ada yang memungkiri
bahwa peran serta pemuda dalam perubahan besar selalu jadi sorotan. Semangat
juang pemuda telah mampu membawa bangsa ini pada era baru yang membungkam
kebiadaban rezim Orde Baru. Dikenallah perubahan itu dengan sebutan masa
reformasi.
Kian berputarnya waktu, pemuda tak lagi
menampakkan perannya di kancah perubahan nasib bangsa. Bahkan saat ini ditemui
pemudalah yang menjadi anak bangsa yang lalai dari tugasnya sebagai agen
perubahan. Gaya hidup yang disodorkan asing telah meluluhlantahkan
idealismenya. Mereka lebih suka berkecimpung pada kehidupan yang hedonis,
materialistik dan terjebak dalam gaya hidup bebas.
Jika kemudian kita mengkaji, kenapa
dahulu sebuah rezim mampu digulingkan oleh pemuda? Jawabannya tentu saja saat
itu pemuda paham akan arah politik bangsanya. Pemuda mengamati dan mempelajari
situasi politik yang kian mengorbankan rakyat kecil. Sikap jeli itu menunjukkan
betapa kualitas pemuda dulu dengan sekarang bertolak belakang.
Nah, itu jika ditinjau dari kondisi
pemudaanya. Namun bagaimana jika kita tinjau dari segi perubahannya? Apakah
penggulingan rezim saja mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat? Ataukah
malah makin memperparah kerusakan setelah era reformasi?
Wajah Indonesia Kita,
Tempat Kita Berkarya
Pengamatan yang sangat mendalam dan
cemerlang, kita akan menemukan bahwa perubahan rezim saja tidak lantas mengubah
nasib bangsa ini. Peristiwa yang paling parah pun digelar di kancah kehidupan
ini. Kita dibuat heran saat mata tak mampu lagi menyaksikan kerusakan yang luar
biasa. Menelisik setiap sendi-sendi kehidupan. Sampai kita gerah dan tak habis
pikir seraya bertanya “sampai kapan ini berakhir?”
Diantaranya, korupsi kian merajalela tak
hanya dari golongan pejabat tapi merambah pada elit politik, para petinggi hukum,
bahkan di kalangan Penguasa. Jadi tak heran jika hal serupa juga tercium di
kalangan Gubernur, Bupati, pun Lurah. Sejak merdekanya negeri ini hingga detik
ini masalah korupsi tak kunjung usai malah tumbuh subur. Tak hanya korupsi,
kasus separatisme kian meresahkan. Kemiskinan dan gizi buruk merebak tumbuh
seolah mempertanyakan bahwa kita ini ibarat anak ayam yang mati di lumbung
padi.
Jika pada masa ORBA rezim represif
berlaku, namun RUU Inteligen, RUU Ormas yang tengah digodok seolah-olah akan
mengembalikan bangsa ini pada rezim repsesif yang lebih parah. Jika ini yang
disebut dengan kedewasaan dalam kehidupan berdemokrasi, bukankah ini bentuk
kemerosotan demokrasi itu sendiri? Belum lagi mata pedih menyaksikan semua
pemberitaan ini, bangsa ini kembali disodorkan pada rusaknya moral anak bangsa,
amburadulnya sistem pendidikan yang tak mampu mencetak generasi cemerlang.
Saat ingin menjerit dengan fenomena itu,
kita dibuat bungkam tanpa bahasa saat naiknya BBM, naiknya TDL yang berimbas
pada perekonomian negeri ini. Lantas sampai kapan semua ini berakhir?
Ternyata, pergantian rezim tanpa
mengubah sistem aturan tak mampu mengembalikan bangsa ini pada cita-citanya
untuk mensejahterakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak mampu
menghantarkan bangsa ini pada kemerdekaan yang hakiki, karena sebagian besar
kekayaan negeri ini dikuasai asing. Tak lantas mencerdaskan kehidupan bangsa
sebab tingginya biaya pendidikan yang tak sanggup dijangkau kalangan miskin. Ditambah
buruknya fasilitas pendidikan, padahal disatu sisi para pejabat sibuk ingin
merenovasi gedung DPR dengan biaya yang melangit luas. Ada apa dengan bangsa
ini?
Wajah buruk demokrasi
akhirnya terkuak. Sistem ini telah membuang hak asasi manusia dan
prinsip-prinsip keadilan hukum. Sistem demokrasi telah menunjukkan jatidirinya
yang asli: menindas rakyat. Demokrasi hanyalah ‘kuda tunggangan’ bagi penguasa
dan pemilik modal, sementara rakyat hanya dijadikan obyek eksploitasi
kepentingan mereka. Wajar jika banyak keputusan, kebijakan, UU atau peraturan
yang dihasilkan melalui proses demokrasi nyata-nyata lebih berpihak kepada
mereka ketimbang kepada rakyat.
Solusi
Tuntas Problematika Bangsa
Setidaknya ada dua faktor
utama di balik berbagai persoalan yang timbul, sejauh ini dapat disimpulkan
karena : sistem
yang bobrok (yakni sistem Kapitalisme-sekular, termasuk demokrasi
di dalamnya) dan pemimpin
(penguasa/wakil rakyat) yang tak amanah.
Sejauh perjalanan bangsa
ini, setiap solusi yang ditawarkan tak mampu menyelesaikan masalah. Suatu
kepastian yang bisa dengan tegas kita nyatakan bahwa solusi yang ditawarkan
justru melahirkan masalah yang baru. Jika diibaratkan sistem kapitalisme-demokrasi
adalah sistem tambal sulam. Tak heran, karena setiap solusi pasti mengandung
kepentingan-kepentingan asing. Jika sudah demikian, kepada siapa kita berharap?
Masihkah kita berharap pada kapitalisme? Atau adakah sistem dan pemimpin yang amanah
untuk mengakhiri semua ini?
Jawabannya : ADA. Karena
itu, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan di atas,
kita harus memilih sistem
yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya datang dari Zat
Yang Maha Baik, Allah SWT. Itulah syariah Islam yang diterapkan dalam
sistem Khilafah. Adapun pemimpin yang amanah adalah yang mau
sungguh-sungguh menjalankan sistem yang baik itu itu.
Sejarah mencatat bahwa
dalam penerapan syariah Islam selama 14 abad telah berhasil mengungguli dua
imperium besar yaitu imperium Persia dan Romawi. Hal ini membuktikan bahwa
peradaban Islam ketika memimpin dunia tak ditemui kecacatan kecuali
penyimpangan di beberapa bagian saja.
Disinilah urgensinya
peran pemuda atau remaja harus ‘ngompol’ atau ngomong politik, untuk
bersama-sama mengambil andil di kancah perpolitikan. Masalah politik bukanlah
urusan mereka yang di kursi DPR atau diserahkan pada ahlinya. Justru selama ini
ahlinya-lah yang menjungkirbalikkan negeri ini ke derajat terendah. Kesejahteraan
yang didambakan tak kunjung berbuah nyata, justru kebalikannya yang kita tuai.
Kita harus memahami bahwa
politik bukanlah perkara kursi kekuasaan. Tapi politik adalah mengurusi urusan
umat/rakyat. Pengurusan urusan umat mutlak dilakukan oleh pemerintah
sepenuhnya. Pemerintah bertanggungjawab memenuhi kebutuhan dasar individu
(sandang, pengan, papan) dan masyarakat (pendidikan, kesehatan, keamanan). Hal
ini akan terwujud hanya dengan diterapkannya hukum-hukum sang Pencipta dalam
kehidupan. Mari bergerak, berkarya, dan berjuang untuk mengembalikan kehidupan
Islam sebagai konsekuensi keimanan kita. Islam adalah rahmatan lil alamin dan
akan mensejahterakan seluruh umat manusia. Wallahu a’lam bishawab. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar