Sabtu, 01 September 2012

Ayah, Ku Merindukanmu


 
Sore itu sang fajar bak mengerti hati seorang hamba yang sudah lelah berusaha seharian mencari keberkahan dari Rabb mereka. Sang kejora nak berpamitan pada penduduk bumi yang telah menantikan penggantinya, ya bulan yang akan menggantikan cahayanya menerangi kehidupan alam raya. Ia tak pernah lelah melaksanakan tugasnya setiap hari sepanjang bumi masih kokoh di orbitnya. Bumi yang mencurahkan segala isinya untuk manusia hidup dan mencari kenikmatan yang terlimpah di darat dan di lautan, tentunya atas izin Allah, karena Allah yang menundukkan semua itu untuk dimiliki manusia. Termasuk untuk ayahku dan keluarga lain di bumi ini.
 Sesosok raut yang bersujud sore itu mengiba pada penciptanya, menengadahkan tangan lemahnya. Ia memohon bukan karena kecewa hari ini tak tersisa untuknya berkah alam untuk ia curahkan pada keluarganya namun karena ia hendak bersyukur pada pemilik alam bahwa ia masih diberi kesempatan satu hari lagi menikmati nafas kehidupan. Tentunya tak ada yang layak ia syukuri kecuali ia harus manfaatkan sisa usia itu untuk memperbanyak bekal untuk hari esok yang telah dijanjikan.
Begitu indah dan bahagianya anak yang dihadiahkan sesosok ayah yang ia berharap setiap peluh dan usahanya disandarkan pada kehendak sang penggenggam nyawa. Sosok tersebut bukan sosok ayah yang dihadiahkan Allah padaku. Tapi dari sorot matanya aku mengerti ayahku selalu bersyukur atas nikmat-Mu. Tak pernah terselip kata kesal, marah, menyesal bahkan benci keluar dari lisanku untuk sosok ayah terbaik yang pernah Allah titipkan untukku. Walaupun jarang sekali ia mengiba pada-Mu untuk sekedar bertatap muka pada-Mu melalui shalatnya. Tapi Allah memberikanku untuk ayahku sebagai anak yang denganku ia kelak bisa bertemu dengan-Mu sang pemilik nyawanya.
Tubuhnya belum tua renta, sorot matanya masih sangat tajam, punggungnya masih mampu memikul beratnya beban kehidupan, langkahnya tak goyah mencari setitik berkah bumi yang Allah berikan padanya. Tapi kenapa Allah tak memberiku kesempatan untuk mencurahkan kebahagiaanku saat ini untuknya. Pertanyaan “WHY” mungkin sungguh tak layak terucap dari lisanku ini, karena ku mengerti Allah merencanakan yang terbaik untuknya. Aku mungkin sungguh tak layak bertanya “Allah, kenapa Kau mengambil ayahku?”, karena ayahku ternyata bukanlah milikku, tapi milik-Nya. Allah hanya menitipkanku pada ayahku agar aku bisa tumbuh dewasa dan mengerti makna kehidupan dunia, mengerti tujuan dan arah hidupku yang tak abadi di dunia. Kini ku mengerti, bahwa ini adalah qadla-nya Allah. Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Ya, mati itulah kata yang telah merenggut sosok ayah dari dekapanku.
Allah, aku tak mengerti kenapa saat ini aku sangat merindukannya. Aku ingin sekali ada di dekatnya, dalam belaian tangan hangatnya yang membelai helai-helai rambut panjang ini, dalam dekapan kasih yang tiada tara. Ingat ketika detik terakhir ia akan menghembuskan nafas terakhirnya, ia hanya berpesan padaku” Nak, jadilah anak yang shalehah, anak yang dinantikan Allah, yang bisa membawaku ke surgaNya”. Allah, aku tak tahu darimana kata-kata itu bisa terucap dari lisannya. Semasa ia ada ia tak pernah sedikitpun mengajarkan padaku apa itu arti anak shalehah, bagaimana surga-Nya. Aku diam dalam kebingunganku. Kata-kata terakhir itu tak dapat ku lupakan hingga detik ini. Kadang aku berpikir apa yang bisa ku lakukan agar aku bisa mewujudkan pesan terakhirnya.
Lingkungan kehidupan tempatku tumbuh dewasa, tidak pernah memberiku arti dari pesan terakhir itu. Mereka hidup dalam ketidaktahuan pada kebesaran-Mu, mereka memahami-Mu hanya sebagai pencipta. Mereka tak pernah tahu adanya aturan-Mu untuk mengatur kehidupan mereka. Mereka tak pernah tahu bahwa ternyata ada cara untuk menjadi anak yang shalehah, yang Engkau tuntun indah dalam bait-bait surat cinta-Mu (Al-qur’an) dan wahyu yang Engkau sampaikan pada kekasih-Mu Muhammad saw (Hadits).
Allah, sungguh Engkau memang memiliki sejuta cara untuk mempertemukanku pada jalan-Mu. Tidak pernah ku duga dan belum pernah terlintas di benakku. Tapi inilah janji-Mu kepada hamba-Mu yang sudi bersusah payah mencari kebenaran agama yang ku genggam dan patut ku syukuri, aku terlahir menjadi muslim. Nikmat yang sangat layak aku syukuri. Nikmat lain yang sungguh mulia adalah Engkau memilihku sebagai salah satu penolong-Mu. Yaa, menjadi seorang pengemban dakwah, pengemban ideologi Islam. Pendobrak peradaban yang telah membuatku buta dari luasnya ilmu-Mu. Inilah nikmat yang ingin ku hadiahkan padanya. Father this is me with Islam and our ideology, I think you’ll glad if you still here with me. This just for you, I wanna see you smile coz you have me as your child.
Allah, andai saja Engkau memberiku sedikit saja waktu untuk bersamanya. Saat ini aku ingin menunjukkan padanya bahwa aku sedang berproses dengan segenap usaha dan kekuatanku untuk mewujudkan pesannya. Aku ingin ia melihatku. Ternyata aku hanya berharap pada sesuatu yang tak mungkin terwujud saat ini, karena Engkau benar-benar telah mengambilnya dariku ya Rabb. Tapi sekali lagi sungguh Engkau begitu baik dan mengerti kerinduan ini. Malam itu, dalam lelapnya tidurku. Aku melihat sosok ayahku, ayah yang kuat, tegar, dan penuh semangat. Aku bertemu dengannya lewat mimpi itu. Ia tersenyum padaku. Aku nggak bisa mengartikan senyum itu. Tapi aku tahu ayahku bahagia telah melihatku, melihatku sebagai anak yang ia rindukan juga. Anak yang Inshallah akan menolongnya kelak.
Sungguh baru aku sadari pesan itu terucap dari lisannya 10 tahun yang lalu. Yaa, waktu yang cukup lama untukku bisa menemukan apa arti kata yang ia minta untuk ku wujudkan baginya. Saat ini aku ingin menyampaikan pesanku padanya melalui lantunan doaku pada-Mu “ yaa Allah, pertemukan kelak aku dengan ayahku, jaga dia yaa Allah. Tempatkan ia di surga-Mu yang Engkau janjikan untuk hamba-Mu. Sampaikan padanya kalau aku sangat merindukannya. Aku mencintainya. Aamiin L”.
Hari ini aku nggak akan menangis lagi ketika ku melihat anak-anak lain berjalan dengan ayah mereka. Aku tak akan sedih ketika melihat mereka bercerita tentang ayah mereka. Karena aku ingin menjadi setegar engkau ayahku, melintasi kehidupan dengan penuh harap. Ayah, maafkan aku saat itu nggak bisa mengecup keningmu. Aku yang terlalu bodoh, sulit menerima kepergianmu. Aku pikir hanya sementara, ternyata kau pergi untuk selamanya. Terima kasih untuk pesan itu, karena dengan itu ku gigih mencari tahu. Terima kasih yaa Allah. Telah memilihku menjadi anaknya. Telah memilihku menjadi penolongnya. Telah menemukanku dengan mabda’ ini. Karena dengan mabda’ ini semua tanya terjawab, semua keraguan hilang. Karena hanya ada satu hadiah dari-Mu untuk kami, yaitu Jannah. Cukuplah surga yang akan membayar setiap keperihanku hidup di dunia tanpa sosoknya. Jadikanlah aku anak yang shalehah. Aamiin yaa Rabbal ‘alamiin.

Padang, Juli 2012

In memori at 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar