Minggu, 28 Juli 2013

Jejak Langit

1.     Akhir Sekolah
Desa kecil di lereng bukit. Tak jelas perbukitan. Tepat disebut dataran tinggi. Dikelilingi pegunungan di setiap sisinya. Jika menapaki dari kota Medan, desa ini harus dilalui selama empat jam perjalanan. Jalanan terjal dan meliuk curam. Curam nan indah. Sepanjang perjalanan menghampar sawah ladang. Hutan yang masih hijau. Tebing di kanan dan jurang di sisi kiri. Indahnya permadani lukisan Pencipta alam semesta. Desa itu adalah desa Sinehu. Mungkin tak terkenal. Ya, memang tak terkenal karena kalian tidak pernah kenalan dengannya. Hehe...
Walau sudah banyak rumah beton. Tak jarang masih ditemui deretan rumah panggung khas adat Batak. Sebagian ada yang menjadikan kolong jadi kandang kambing. Sebagian lain menjadi tempat menimbun kayu bakar. Malah ada yang kosong melompong begitu saja.
Pagi begitu cerah. Padahal jarum jam pendek masih di angka enam. Embun tak lagi sejuk. Sebab titik demi titiknya diterpa sinar mentari. Biasanya jam segitu mash gelap. Sang mentari rupanya nongol lebih awal. Aragar manusia tak terbuai terus dalam mimpinya. Seluruh penghuni bumi mulai beranjak. Mencari setitik berkah bumi dan langit. Mengais rizki di hamparan sawah dan ladang. Sekawanan burung berkicau menyambut indahnya hari ini.
Hilir mudik mobil silih berganti. Berdesakan berburu agar segera lekas tiba di tujuan. Tak ada guratan lelah di dahi para pengemudi. Setiap pagi dihiasi dengan senyum. Tak peduli jika hari-hari harus terus bergumul dengan polutan di jalanan. Semua demi sesuap nasi dan sebongkah berlian.
Aah, bukan desa terkenal. Pemandangan hilir mudik mobil hanya akan terjadi jika disini ada kondangan. Atau jika hari Sabtu tiba, sebab ada pasarnya. Ramai orang berjualan, dari sayuran, ikan asin, perabotan rumah tangga, buah, bahkan hasil-hasil pertanian warga. Desa ini tidak banyak mobil apalagi bus sekolah. Siswa akan naik mobil pick up yang didesain sebagai mobil pengangkut sewa. Begitu malunya kami bila mobil pick up itu menurunkan kami pas di depan sekolah. Teman-teman yang lain akan menyoraki kami ini adalah sekawanan “sapi” yang akan dijual. Padahal sekolah kami juga terbilang di hutan. Oh No! Ya begitulah kondisi kami. Naik mobil “sapi” itu kalau kebetulan punya uang buat ongkos. Bagi yang nggak punya terpaksa harus jalan kaki. Menyusuri perjalanan selama dua puluh sampai tiga puluh menit.
Jalan ke desa ini tidak mulus. Sudah aspal tapi hancur ditelan usia. Sudah bertahun-tahun lamanya tidak ada pembangunan. Padahal silih berganti terjadi pergantian Bupati, Kepala Desa, pun pergantian Gubernur. Tetap saja desa kami nihil dari perhatian pemerintah. Jalanan yang hancur itulah yang setiap harinya menjadi pijakan warga desa kami. Hmm, ke sekolah jalan kaki, jalanan terjal, tetap ditelusuri bak mendaki gunung demi satu cita-cita. Tetap semangat menatap masa depan. Berawal dari sekolah dan menuntut ilmu.
Terlihat anak-anak SMP sudah lengkap dengan seragam putih birunya. Sudah mulai berangkat ke sekolah. Jika mereka tak berangkat pagi, resikonya terlambat. Jadi mereka harus berangkat jam enam atau sebelumnya. Terbayang akan jalan kaki sejauh delapan kilometer pulang pergi. Letih, capek, keringatan, kepanasan, hujan deras bahkan tak menyurutkan niat mereka untuk tetap berangkat sekolah. Mereka pun  tidak lupa sarapan. Tak jarang orang tua membawakan mereka bekal makan siang. Karena mereka akan tiba di rumah jam tiga siangnya. Begitulah keseharianku dulu waktu masih SMP.
Terlihat juga para petani, bapak-bapak yang memanggul cangkulnya. Ibu-ibu mengikuti dibelakangnya dengan ember berisi bekal makan siang selama di ladang. Mereka akan kembali lagi jika matahari telah tenggelam di ufuk Barat. Tak sedikitpun ada gurat muram diwajah mereka. Hanya aka nyeletuk jika tiba-tiba harga pupuk dan racun pemusnah ilalang meroket. Ada sebagian yang mampu merawat tanamannya dengan baik. Tak jarang dibiarkan saja tanpa pemupukan.
Begitulah rutinitas di pagi hari di desaku. Desa yang bisa disebut cukup luas dan kaya akan lahan pertanian dan perkebunan kopi robusta. Bahkan hasil kopi bubuknya terkenal hingga ke luar negeri. Kenalkan nama produk kopi bubuknya adalah kopi Sidikalang. Hehe...ada yang pernah nyicipin? Tak kalah kualitasnya dengan kopi luwak yang sekarang tenar-tenarnya.
***
Oh ya, kenalkan namaku Moza. Teman-teman suka memanggilku Oza atau Onza. Nama lengkap sebenarnya Al-Khanza tapi karena lidah orang batak sulit nyebut namaku yang rada-rada ke-Arab-an itu, ya harus rela dipanggil Moza. Apalah arti sebuah nama asal mereka memanggilku dengan nama yang baik lagi kusukai.
Aku sekolah di SMAN 1 Sinehu. Salah satu SMA di desa kami. Baru berdiri sekitar dua tahun sebelum aku kelas satu disana. Sekitar tahun 2006 lalu. Kami angkatan ketiga di sekolah itu. Bayangkan saja, sekolah yang baru berdiri. Waktu itu gedungnya hanya ada tiga. Masing-masing satu kelas dari kelas satu sampai tiga. Sehingga, ketika angkatan kami masuk kelas itu jadi tak memadai menampung siswa baru. Kami waktu itu ada dua kelas. Sedangkan ruangannya hanya tiga dan satu ruang kantor guru. Letak kantor guru dan ruangan kelas berhadapan dengan jarak yang lumayan jauh. Di sebelah kanan pintu masuk sekolah ada sebuah kantin.
Mengantisipasi keterbatasan ruangan tersebut, kami bergiliran memakai ruangannya. Pagi hari ruangan dipakai untuk kelas dua dan tiga. Sedangkan sore hari dipakai oleh kelas satu. Jadi tak heran jika kami pulang sekolah jam enam sore. Kami lalui kondisi tersebut selama satu semester penuh. Setelahnya ada bantuan untuk pembangunan dua rungan kelas lagi.
Sekolah kami jauh dari keramaian. Berada di tengah sawah ladang penduduk. Di perbukitan dan dihimpit sebuah bukit namanya Dolok Siraut. Bukit tersebut adalah tempat penambangan batu kapur. Disana juga banyak penambang yang mengais batu gamping. Batu gamping ini digunakan untuk membuat dolomit. Dolomit berfungsi untuk menyuburkan lahan pertanian yang rata-rata gersang di kabupatenku.
Dari jalan raya lintas kota Sidikalang-Tigalingga masuk ke dalam sejauh 100 atau 150 meter. Jadi tidak ada kebisingan atau hiruk pikuk kendaraan. Yang ada malah sejuk, dingin, dan sunyi. Jalan ke sekolah awalnya masih bebatuan belum diaspal. Tidak ada angkot kesini. Hanya ada satu dua itupun pada saat-saat tertentu saja.
Oh ya, kondisi tiga ruangan kelas tersebut juga cukup miris. Masih berlantai semen dan berdinding bata belum diplester. Tanah lapangan yang kerap dipakai upacara berwarna merah. Jika hujan menempel di sepatu, jika kemarau debunya beterbangan kemana-mana. Cukup gersang. Tak ada tanaman bunga yang tumbuh indah disini. Kecuali bunga yang tumbuh di taman di depan kelas. Dan beberapa pepohonan pinus yang sengaja ditanam untuk merindangkan sekolah.
Walaupun begitu, aku tak pernah berhati kecil bersekolah disana. Tiga tahun sekolah disana tetap saja aku mampu bersiang dengan orang yang sekolah di kota. Hal ini, ketika ak ikut event olimpiade sains aku masih mampu menyandang peringkat sepuluh besar dari puluhan sekolah SMA sederajat di Kabupatenku. Olimpiade sains bidang astronomi maupun bidang Biologi. Setidaknya berdasarkan kualitas sekolahku tidak kalah saing.
Sejak SMP hingga SMA aku selalu membintangi juara kelas. Walau tak selalu bertengger di peringkat pertama. Tapi aku selalu mengantongi peringkat tiga besar selama sekolah. Bahkan ketika SMP aku pernah menjadi juara tiga umum dari 200 siswa lima kelas paralel. Aku sangat menikmati dunia pendidikan. Bahkan aku merasa itulah satu-satunya cara untuk mengubah nasib.
Kenapa aku begitu peduli pada pendidikan? Dan kenapa mampu bertahan dan tetap bersinar walau terdampar di sekolah yang –menurut orang– tidak elit sama sekali?
Mungkin banyak bernasib serupa denganku. Sejak SMP aku sudah tidak tinggal bersama orangtuaku. Sejak ayahku meninggal ketika aku masih kelas lima SD. Ibuku hanya mampu menyekolahkanku hingga tamat SD saja. Sepeninggal ayah, Ibu menjadi tulang punggung tunggal dalam keluarga kami.
Kami ada tujuh orang bersaudara. Aku anak ketiga dari ketujuhnya. Kakakku yang pertama namanya Nur hanya sekolah sampai kelas dua SMP karena terkendala biaya sekolah. Akhirnya ia berhenti sekolah dan bekerja di kota. Abangku yang kedua namanya Syarif juga berhenti sekolah sampai kelas satu SMP saja. Kata orang karena dia bandal tapi bukan itu alasannya. Sama nasibnya dengan kakakku. Dia juga memutuskan merantau.
Dengan bantuan mereka kami dapat melanjutkan sekolah. Ada empat orang lagi adik lagi dibawahku. Semuanya sekolah di desa ini kecuali yang kelima, sejak kelas dua SD dia dibawa pamanku ke Jakarta. Namanya Susi. Ia dibawa setelah ayahku meninggal.
 Aku tinggal di rumah nenekku sejak SMP hingga SMA. Sedangkan adikku yang keempat juga turut tinggal bersamaku di rumah nenek. Dia kelas satu dan aku kelas tiga SMA. Nenek yang memintanya. Jarak rumah nenek tidak begitu jauh dari rumahku. Hanya jalan kami satu menit saja sampai. Jadi, hanya ada dua adikku yang tinggal bersama ibu. Mereka adalah Uti dan Dedek.
Ibuku, layak kuacungi jempol dari setiap tetes peluhnya memperjuangkan kedua adikku itu sekolah. Dulu, ibuku tak pernah ke ladang. Bahkan memacul sawahpun ia tak pernah. Namun, demi keduanya ia memacul sawah dan bekerja membanting tulang di ladang orang. Terkadang hatiku sangat teriris sakit. Tak ada yang bisa kulakukan untuk membantu ibuku. Sementara aku juga dibiayai orang lain. Mungkin, jika bersama ibu aku tak akan bisa melanjutkan sekolah hingga SMA seperti ini. Tapi itu hanya mungkin. Sebab rizki Allah siapa yang tahu?

Aku hanya bisa berdoa semoga Allah memberi kekuatan dan kesehatan pada ibuku. Hingga kelak kami mampu meringankan beban beratnya. Sosoknya mengingatkanku pada ayah. Ayah yang telah menjadikan siangnya untuk mencari nafkah demi kami.
--------------------------------------------------------- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar