Senin, 21 Januari 2013

Nyasar Pangkat Dua


Hari ini, aku memberanikan diri pergi ke rumah mbak Eni sendirian. Mbak Eni adalah musyrifah atau dosen baruku untuk mengkaji pemikiran dan pemahaman Islam. Sebelumnya aku sudah mengunjungi mbak Uun. Mbak Uun memang sudah memberikan alamat lengkapnya. Namun yang namanya orang baru, aku masih merasa asing dengan wilayah yang beliau sebutkan.
Akhirnya aku dan adikku memutuskan pergi kesana naik motor. Motor minjem maksudnya, tuh kan aku jadi malu. Nah, setelah muter-muter sampe puyeng nggak ketemu tuh rumah mbak Uun. Kita nggak salah alamat, sudah bener berada di daerah Teladan. Tepatnya di jalan pelajar timur. Lengkap dengan gang dan nomor rumah. Tapi kok semua orang di jalan pelajar itu nggak tau yah gang rumahnya?
Ahh…yang benar saja. Hari semakin panas, maklum medan itu kota metropolitan kedua kayaknya setelah Jakarta, bahkan macetnya nggak ada bedanya sama Jakarta. Aku dan adikku memutuskan berbelok arah pulang saja. Aku takut menghubungi nomor mbak Uun karena sepengetahuanku mbak Uun sedang ada pengajian. Dan memang benar, jika saja aku menemukan rumahnya, mbak Uun nggak ada di rumah. Beliau ada pengajian di daerah Katamso, kampung Baru.
Akhirnya mbak Uun sms kalau beliau bisa ditemui jam 2 di rumahnya. Aku masih tetap semangat empat lima menemui. Ini bukan ketemuan biasa saja tapi ketemuan yang penting bagiku. Ternyata pindah dari Padang ke Medan itu nggak asyik banget. Nggak asyik nunggunya, nunggu segera tersirami tsaqofah Islam tentunya.
Nah, singkat cerita nggak jadi tuh ketemuan jam 2, tapi jadinya jam 4. Ternyata kalo nyari alamat di Medan itu nanya rumahnya dekat mana? Kalo cuma bermodal alamat lengkap orang-orang nggak tahu. Jadi tanya dekat mana, misalnya dekat mall, rumah sakit, Bank, sekolah, gedung DPR atau dekat tempat-tempat yang umum diketahui orang. Betul ternyata setelah mbak Uun kasih tau rumahnya dekat SMA 14, semua orang kenal ma gang rumahnya. Haduuh, aneh-aneh saja, bukannya dari tadi emang gang itu ada disana yah?
Alhamdulillah, rumahnya mudah ditemui. Dari sekian rumah yang berderet rumah mbak Uun ada Al liwa Ar royah. Jadi aku nggak mungkin salah rumah lagi. Karena tadi di depan udah salah masuk. Masalahnya nomor rumahnya banyak yang sama.  Yang bikin aku kesel lagi masa mereka itu sama tetangga sebelah rumah saja nggak kenal. Dasar masyarakat kapitalis, batinku.
Oke, setelah bincang-bincang panjang lebar. Aku pun pamitan dan rencananya besok akan ke rumah mbak Eni. Karena mbak Eni seperti yang kubilang tadi adalah dosenku yang baru. Jadilah aku kesana sendirian. Adikku? Dia nggak bisa menemani karena dia kerja.
                                                                        ***
Keesokan harinya dengan bermodal alamat rumah dan nomor angkot aku nekad pergi kesana. Nomor angkot ini penting, kalau aku salah nomor bisa nyasar kemana-mana. Jujur saja, walaupun aku asli Medan tapi daerah Medan cukup sulit kupahami lika-likunya.
Setelah diskusi dengan adikku, akhirnya nongol juga tuh angkot yang ditunggu. Dengan baca bismilah, aku naiki angkot tersebut. Di angkot aku deg-degan terus. Takut nyasar atau kelewatan. Sepanjang perjalanan mataku tak luput memperhatikan tanda-tanda jalan, gedung-gedung penting apa saja yang kulewati, jalan apa saja yang dilalui angkot ini. Tepatnya aku harus tau dimana keberadaanku. Semua tempat itu kurekam dalam ingatanku.
Oya, tadi adikku bilang kalau alamat tujuanku itu sebelumnya ada mesjid. Dia lupa apa nama mesjidnya. Tapi tepat di mesjid itu jalan rumah mbak Eni berada. Itu saja modal yang kupunya untuk memberanikan diri menuju tempat mbak Eni. Tujuannya adalah untuk halqoh perdana.
Kalau halqohnya jam satu, berarti dari rumah aku harus berangkat jam 11, karena Medan itu traffic jam-nya  padat banget. Sambil menikmati macet aku menyimak obrolan orang-orang di angkot. Bukan nguping karena mereka ngomongnya gede-gede. Khas dengan logat Medannya.
Tiba-tiba ada dua orang cewek naik angkot. Mereka begitu masuk langsung tuh angkot kayak pasar malam. Ribuut sangat.  Udah dandanan menor, pake kerudung nyekek leher plus tabarruj juga dengan make up dan lipstick tebalnya satu centi. Sebodo amat tuh mereka lagi ngomongin apaan. Terobos terus nggak mikir kalau yang di sebelahnya udah pekak dengar suaranya yang lumayan cempreng lima oktaf.
Si cewek ternyata lagi nelfon, kalo boleh kuduga pasti sama cowok. Eh, jangan negative thinking dulu yah? Aku nggak su’udzhon kok, karena dia manggil abang makanya kutahu itu cowok. Bukan aku tebak-tebakan berhadiah.
Dia, cewek itu bilang “abang mau kemana, kok tadi sms bilang mau pergi selamanya dari hidupku?” Preeeettt…pikirku. Dia lanjut lagi karena disebrang tak bersuara,”mau ke rahmatullah ya?” terus dijawab ma si abangnya “nggaklah, kamu saja yang ke rahmatullah kalo mau!” eh, si cewek itu malah bilang, “belum siap masih banyak dosa!” gubraaak, udah tau banyak dosa bukannya tobat, pikirku. Selanjutnya  entah apa  yang mereka bicarakan aku nggak minat dengar lagi. Karena perhatianku teralihkan sama orang-orang diluar angkot yang kulewati sepanjang jalan.
Nah, diantara fenomena yang kulihat adalah anak-anak sekolah. Tepatnya aku menyebut mereka remaja muslimah yang baru pulang sekolah. Pake rok panjang, pake baju lengan panjang tapi kerudungnya udah dilepas, diselempangkan dipundaknya, ada juga yang malah jadi lap keringat, yang lain jadi kipas.
Hadeeeh, kok jadi begini banget yah kondisi remaja muslimahnya? Apa mereka pikir kerudung itu wajibnya cuma di sekolah doang yah? Heraaaan deh plus geleng-geleng. Istigfar dalam hati berharap Khilafah akan segera tegak.
Parahnya lagi nih cewek-cewek disebelahku. Dari tadi menggerutu kepanasan terus,  padahal pakaiannya cuma segitu-gitu doang. Harusnya kalo udah dibuka semua nggak kepanansan lagi. Tapi kok ngedumel terus yak?
Alhamdulillah, sungguh nikmat Allah itu luar biasa. Memang menutup aurat dengan jilbab dan kerudung tak membuat dunia yang panas menjadi terasa panas. Malah aku merasa adem diterpa angin. Walau keringat terus mengucur tapi tak kurasakan panas. Karena jika pun ku merasakan panas bukankah api neraka itu lebih panas ketimbang panas yang kita rasakan di dunia yang hanya sekejab dalam balutan busana taqwa?
Oya, saking asyiknya menghayal hampir saja aku kelewatan. Untung aku segera melihat mesjid yang sudah terlewat. Aku perhatikan ada plang bertulis nama jalan tempat tujuanku. “Setoooop!!” teriakku, yang lain pada ikutan teriak karena si supir pekak. Hmm, aku turun dengan selamat.
Selanjutnya adalah nyari gang rumahnya. Karena kutakut nyasar lagi atau kelewatan, kuputuskan jalan kaki saja ditengah terik mentari siang itu. Sepanjang jalan aku melirik kanan kiri dimana ada tertulis gang yang dimaksud. Setelah jauh aku tak menemukan akhirnya aku putuskan untuk bertanya sama bapak tukang gorengan. Waduuuh, kata si bapak udah kelewatan sebanyak empat gang. Whats??? Aku harus muter lagi menyusuri empat gang? Cuapek deeh….
                                                                        ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar