Hari
ini, aku memberanikan diri pergi ke rumah mbak Eni sendirian. Mbak Eni adalah
musyrifah atau dosen baruku untuk mengkaji pemikiran dan pemahaman Islam. Sebelumnya
aku sudah mengunjungi mbak Uun. Mbak Uun memang sudah memberikan alamat
lengkapnya. Namun yang namanya orang baru, aku masih merasa asing dengan
wilayah yang beliau sebutkan.
Akhirnya
aku dan adikku memutuskan pergi kesana naik motor. Motor minjem maksudnya, tuh
kan aku jadi malu. Nah, setelah muter-muter sampe puyeng nggak ketemu tuh rumah
mbak Uun. Kita nggak salah alamat, sudah bener berada di daerah Teladan.
Tepatnya di jalan pelajar timur. Lengkap dengan gang dan nomor rumah. Tapi kok
semua orang di jalan pelajar itu nggak tau yah gang rumahnya?
Ahh…yang
benar saja. Hari semakin panas, maklum medan itu kota metropolitan kedua
kayaknya setelah Jakarta, bahkan macetnya nggak ada bedanya sama Jakarta. Aku
dan adikku memutuskan berbelok arah pulang saja. Aku takut menghubungi nomor
mbak Uun karena sepengetahuanku mbak Uun sedang ada pengajian. Dan memang
benar, jika saja aku menemukan rumahnya, mbak Uun nggak ada di rumah. Beliau
ada pengajian di daerah Katamso, kampung Baru.
Akhirnya
mbak Uun sms kalau beliau bisa ditemui jam 2 di rumahnya. Aku masih tetap
semangat empat lima menemui. Ini bukan ketemuan biasa saja tapi ketemuan yang
penting bagiku. Ternyata pindah dari Padang ke Medan itu nggak asyik banget.
Nggak asyik nunggunya, nunggu segera tersirami tsaqofah Islam tentunya.
Nah,
singkat cerita nggak jadi tuh ketemuan jam 2, tapi jadinya jam 4. Ternyata kalo
nyari alamat di Medan itu nanya rumahnya dekat mana? Kalo cuma bermodal alamat
lengkap orang-orang nggak tahu. Jadi tanya dekat mana, misalnya dekat mall,
rumah sakit, Bank, sekolah, gedung DPR atau dekat tempat-tempat yang umum
diketahui orang. Betul ternyata setelah mbak Uun kasih tau rumahnya dekat SMA
14, semua orang kenal ma gang rumahnya. Haduuh, aneh-aneh saja, bukannya dari
tadi emang gang itu ada disana yah?
Alhamdulillah,
rumahnya mudah ditemui. Dari sekian rumah yang berderet rumah mbak Uun ada Al
liwa Ar royah. Jadi aku nggak mungkin salah rumah lagi. Karena tadi di depan
udah salah masuk. Masalahnya nomor rumahnya banyak yang sama. Yang bikin aku kesel lagi masa mereka itu
sama tetangga sebelah rumah saja nggak kenal. Dasar masyarakat kapitalis,
batinku.
Oke,
setelah bincang-bincang panjang lebar. Aku pun pamitan dan rencananya besok
akan ke rumah mbak Eni. Karena mbak Eni seperti yang kubilang tadi adalah
dosenku yang baru. Jadilah aku kesana sendirian. Adikku? Dia nggak bisa
menemani karena dia kerja.
***
Keesokan
harinya dengan bermodal alamat rumah dan nomor angkot aku nekad pergi kesana.
Nomor angkot ini penting, kalau aku salah nomor bisa nyasar kemana-mana. Jujur
saja, walaupun aku asli Medan tapi daerah Medan cukup sulit kupahami
lika-likunya.
Setelah
diskusi dengan adikku, akhirnya nongol juga tuh angkot yang ditunggu. Dengan
baca bismilah, aku naiki angkot tersebut. Di angkot aku deg-degan terus. Takut
nyasar atau kelewatan. Sepanjang perjalanan mataku tak luput memperhatikan
tanda-tanda jalan, gedung-gedung penting apa saja yang kulewati, jalan apa saja
yang dilalui angkot ini. Tepatnya aku harus tau dimana keberadaanku. Semua
tempat itu kurekam dalam ingatanku.
Oya,
tadi adikku bilang kalau alamat tujuanku itu sebelumnya ada mesjid. Dia lupa
apa nama mesjidnya. Tapi tepat di mesjid itu jalan rumah mbak Eni berada. Itu
saja modal yang kupunya untuk memberanikan diri menuju tempat mbak Eni.
Tujuannya adalah untuk halqoh perdana.
Kalau
halqohnya jam satu, berarti dari rumah aku harus berangkat jam 11, karena Medan
itu traffic jam-nya padat banget. Sambil
menikmati macet aku menyimak obrolan orang-orang di angkot. Bukan nguping
karena mereka ngomongnya gede-gede. Khas dengan logat Medannya.
Tiba-tiba
ada dua orang cewek naik angkot. Mereka begitu masuk langsung tuh angkot kayak
pasar malam. Ribuut sangat. Udah
dandanan menor, pake kerudung nyekek leher plus tabarruj juga dengan make up
dan lipstick tebalnya satu centi. Sebodo amat tuh mereka lagi ngomongin apaan. Terobos
terus nggak mikir kalau yang di sebelahnya udah pekak dengar suaranya yang
lumayan cempreng lima oktaf.
Si
cewek ternyata lagi nelfon, kalo boleh kuduga pasti sama cowok. Eh, jangan
negative thinking dulu yah? Aku nggak su’udzhon kok, karena dia manggil abang
makanya kutahu itu cowok. Bukan aku tebak-tebakan berhadiah.
Dia,
cewek itu bilang “abang mau kemana, kok tadi sms bilang mau pergi selamanya
dari hidupku?” Preeeettt…pikirku. Dia lanjut lagi karena disebrang tak
bersuara,”mau ke rahmatullah ya?” terus dijawab ma si abangnya “nggaklah, kamu
saja yang ke rahmatullah kalo mau!” eh, si cewek itu malah bilang, “belum siap
masih banyak dosa!” gubraaak, udah tau banyak dosa bukannya tobat, pikirku.
Selanjutnya entah apa yang mereka bicarakan aku nggak minat dengar
lagi. Karena perhatianku teralihkan sama orang-orang diluar angkot yang
kulewati sepanjang jalan.
Nah,
diantara fenomena yang kulihat adalah anak-anak sekolah. Tepatnya aku menyebut
mereka remaja muslimah yang baru pulang sekolah. Pake rok panjang, pake baju
lengan panjang tapi kerudungnya udah dilepas, diselempangkan dipundaknya, ada
juga yang malah jadi lap keringat, yang lain jadi kipas.
Hadeeeh,
kok jadi begini banget yah kondisi remaja muslimahnya? Apa mereka pikir
kerudung itu wajibnya cuma di sekolah doang yah? Heraaaan deh plus
geleng-geleng. Istigfar dalam hati berharap Khilafah akan segera tegak.
Parahnya
lagi nih cewek-cewek disebelahku. Dari tadi menggerutu kepanasan terus, padahal pakaiannya cuma segitu-gitu doang.
Harusnya kalo udah dibuka semua nggak kepanansan lagi. Tapi kok ngedumel terus
yak?
Alhamdulillah,
sungguh nikmat Allah itu luar biasa. Memang menutup aurat dengan jilbab dan kerudung
tak membuat dunia yang panas menjadi terasa panas. Malah aku merasa adem
diterpa angin. Walau keringat terus mengucur tapi tak kurasakan panas. Karena
jika pun ku merasakan panas bukankah api neraka itu lebih panas ketimbang panas
yang kita rasakan di dunia yang hanya sekejab dalam balutan busana taqwa?
Oya,
saking asyiknya menghayal hampir saja aku kelewatan. Untung aku segera melihat
mesjid yang sudah terlewat. Aku perhatikan ada plang bertulis nama jalan tempat
tujuanku. “Setoooop!!” teriakku, yang lain pada ikutan teriak karena si supir
pekak. Hmm, aku turun dengan selamat.
Selanjutnya
adalah nyari gang rumahnya. Karena kutakut nyasar lagi atau kelewatan,
kuputuskan jalan kaki saja ditengah terik mentari siang itu. Sepanjang jalan
aku melirik kanan kiri dimana ada tertulis gang yang dimaksud. Setelah jauh aku
tak menemukan akhirnya aku putuskan untuk bertanya sama bapak tukang gorengan.
Waduuuh, kata si bapak udah kelewatan sebanyak empat gang. Whats??? Aku harus
muter lagi menyusuri empat gang? Cuapek deeh….
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar