Di..kedalaman hatiku, tersembunyi harapan yang suci.. Tak, perlu engkau menyangsikan..
Lewat.. kesalihanmu yang terukir menghiasi dirimu,
tak perlu dengan.. kata-kata
Sungguh..hatiku kelu tuk’ mengungkapkan perasaanku..
Namun, penantianmu pada diriku, jangan salahkan..
Kalau memang..kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang..
Nanti kubawa kau pergi ke syurga abadi..
kini belumlah saatnya aku membalas cintamu… nantikan ku..di batas.. waktu..
(Lirik dalam nasyid ‘Nantikanku di batas waktu’ oleh:Ed Coustic)
Manusia
diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia
bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup,
sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan
memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan
ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang
diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus
merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara
potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang
diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun
tertarik kepada lawan jenis (gharizatu na’u). Naluri ini merupakan
dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar.
Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan
yang ‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan
seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok
yang ‘special’ sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan
hanya sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa
berdebar cepat dan kedua bibirpun akan menggeser menyimpul mesra.
Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya antara seorang akhwat
terhadap seorang ikhwan.
Islam
memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang
tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia
agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt
menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan
dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh
Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan
masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah
(meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang
muslim ketika dirinya terdiagnosa telah mengidap gejala-gejala terserang
‘virus merah jambu’ apalagi jika sudah sampai pada stadium yang akut
(memangnya penyakit kanker?).
I. Pengertian Khithbah
Dalam
merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus
ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang
diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut
menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang
dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah
adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping
hidupnya (Syamsudin Ramdhan, 2004:49).
Sedangkan
menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily (dalam MR. Kurnia, 2005:19) menjelaskan
yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap
seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud
atau keluarganya (walinya). Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga
menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah seorang
perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi
dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Islam
telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk
melangsungkan pernikahan (An-Nabhaniy, 2001:146). Berkaitan dengan
anjuran untuk menikah,Allah Swt, berfirman :
Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
‘Wahai
para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul
beban. Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan
pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum
mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu dapat menjadi perisai’.
Diantara
peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang
dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah
Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai
berikut:
‘Abdurrahman
Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu
menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia
(Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya
nikahi.” (HR.Bukhari)
Abdurrahman
Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw.
Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur
dalam medan jihad fii sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang
masih sepupunya) datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah
sekaligus menikahinya.
Menurut
Muhammad Thalib (2002:25) kejadian ini menunjukan seorang laki-laki
boleh meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh
orang tua atau walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau
menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf atas kejadian ini.
Selain
itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki
agar menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at
(Syamsudin Ramdhan, 2004:56). Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah
riwayat berikut:
‘Pernah
ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata
‘Wahai Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’.
Rasulullah Saw lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan
pandangannya. Ketika melihat bahwa Rasulullah tidak memberikan
keputusannya, maka wanita itupun tertunduk” (HR.Bukhari)
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan jalan
untuk mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya
terkait dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik
dilakukan secara langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan
pihak lain.
Dalam
beberapa dalil di atas telah diungkapkan tentang bagaimana proses
khithbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan
sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan
mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada
keluarga atau wali pihak akhwat. Selain itu ada beberapa hal yang juga
perlu difahami ketika melakukan khitbah, antara lain:
a. Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
Syamsudin
Ramdhan (2004:54) mengungkapkan bahwa sebagian ulama berpendapat,
diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat wanita yang dilamarnya, tetapi
ia tidak boleh melihat auratnya. Sebagaimana Jabir menuturkan bahwa
Rasulullah Saw pernah bersabda:
‘Jika
salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya
ia dapat melihat sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk
menikahinya, maka hendaklah ia melihatnya. (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Dibolehkannya
melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah,
diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk
menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat
mengkhithbah.
Sebagian
ulama lagi membolehkan untuk melihat bukan hanya wajah dan telapak
tangan, melainkan lebih dari itu karena wajah dan telapak tangan
merupakan anggota badan perempuan yang terlihat sehari-hari. Sehingga
perintah untuk melihat, dalam hadits tersebut tentu yang dimaksud bukan
hanya wajah dan telapak tangan (MR.Kurnia, 2005:23)
b. Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
Seorang
ikhwan tidak boleh mengkhithbah seorang akhwat yang masih berada dalam
khitbah lainnya, kecuali setelah khithbah tersebut dilepaskan oleh
ikhwan yang pertama atau karena alasan syar’i lainnya seperti meninggal
dunia, dll (Syamsudin Ramdhan, 2004:55). Hal ini didasarkan pada
hadits Rasulullah Saw:
Seorang
mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Tidak halal seorang
mukmin menawar diatas tawaran saudaranya dan meminang (seorang wanita)
diatas pinangan saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu) sudah
ditinggalkannya (HR. Muslim dan Ahmad)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Saw bersabda:
Tidak
boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh
saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya (HR. Abu
Hurairah)
c. Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak Khithbah
An-Nabhaniy
(2001:161) mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka
dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya,
bukan hak salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan
mengawinkannya tanpa seizin wanita yang bersangkutan, dan dia pun tidak
boleh dihalang-halangi untuk menikah.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:
Seorang
janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang
gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya (HR.Ibnu
Abbas)
Adapun Abu Hurairah menuturkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut:
Rasulullah Saw bersabda,
’Seorang
janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan seorang gadis
tidak dinikahi kecuali setelah diminta izinnya’ Para sahabat lalu
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?’ Beliau
menjawab,’Izinnya adalah diamnya’.
Hadits-hadits
di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa seorang wanita yang
tidak dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang tua/walinya)
maka pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak
pernikahannya itu atau menikah secara terpaksa, berarti akad
pernikahannya rusak, kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridha.
d. Tidak Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin
Aktivitas
tukar cincin adalah saling memberikan cincin (untuk dipakai) antara
calon suami dan calon istri sebagai pertanda adanya ikatan pertunangan
di antara mereka. Aktivitas ini biasanya dianggap lumrah oleh sebagian
besar masyarakat.
Menurut
Muhammad Thalib (2002:48) bertukar cincin bukan merupakan cara islam
melainkan cara bangsa Roma (eropa) yang mendapat pengesahan dari
gereja. Jadi, saling tukar cincin pada mulanya bukan merupakan cara
umat kristiani pula, melainkan warisan kebudayaan bangsa Romawi.
Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw melarang kaum muslimin
untuk meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda:
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu Dawud)
e. Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan
Kekeliruan
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering
menggiring mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan
yang telah melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian
aktivitas seperti suami-istri asal tidak kelewat batas. Misalnya, jalan
berduaan, ngobrol berduaan, dll.
Menurut
MR Kurnia (2005:25) khitbah bukanlah pernikahan, sehingga akad khitbah
bukanlah akad pernikahan. Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji
kedua pihak untuk menikah pada waktu yang disepakati. Dengan demikian
setelah akad khithbah dilangsungkan, maka status bagi keduanya adalah
tetap orang asing (bukan mahram) antara satu dengan lainnya.
Kendati
demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh
saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan
kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap,
dsb. Hal ini karena, khithbah memang merupakan sarana untuk dapat
saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma’ruf.
Berkaitan dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda:
‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’ (HR.Abu Hurairah)
Selain itu, Allah Swt juga telah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (QS. Al-Ahzab [33]:70)
Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, (QS. An-Nur [24]:30-31)
Kurun
waktu khithbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad
khithbah) hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah) (Muhamad
Thalib, 2002:69)
Bagi
seorang ikhwan yang telah mengkhithbah akhwat, berapa lamakah rentang
waktu yang harus ia lewati hingga ia dapat melangsungkan pernikahan
dengannya?
Berdasarkan
peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yaitu antara
Abdurrahman Bin ‘Auf terhadap Ummu Hakim Binti Qarizh, dimana
Abdurahman Bin ‘Auf telah melakukan pengkhitbahan secara langsung
kepada Ummu Hakim kemudian dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu
itu. Terhadap kejadian ini Rasulullah tidak menyalahkan perbuatan
Abdurahman Bin ‘Auf, yang berarti pula hal ini menunjukan persetujuan
Beliau Saw.
Jadi,
sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan
pernikahan pasca dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1
bulan, atau bahkan satu tahun setelahnya. Hanya saja berkaitan dengan
hal ini, syara’ juga menganjurkan untuk menyegerakan suatu perbuatan
kebaikan apabila telah diniatkan.
Rasulullah Saw telah mengingatkan:
Bersegeralah
beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam
yang gelap. (saat itu) di pagi harinya seseorang beriman tetapi di
sore harinya ia menjadi kafir. Di sore hari seseorang beriman tapi di
pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamannya dengan harta dunia
(HR.Muslim dan Abu Hurayrah)
Melaksanakan
pernikahan dengan segera apabila segala sesuatunya telah disiapkan dan
dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain juga tidak mengabaikan
kebutuhan materi) merupakan hal yang dianjurkan.
Firman Allah Swt:
Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian*] diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. AnNur[24]:32)
Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Rasulullah Saw bersabda:
Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk kawin maka menikahlah (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Tiga
golongan yang berhak ditolong oleh Allah Swt, yaitu Pejuang di jalan
Allah, mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau
melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah karena hendak menjauhkan
diri dari perkara haram. (HR. At-Turmudzi)
Dengan
demikian dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga
pernikahan, tergantung pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak
(dan keluarganya) sehingga kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi
acuan untuk menetapkan waktu pelaksanaan pernikahan setelah
mempertimbangkan berbagai hal dan kemampuan yang mendukung terlaksananya
pernikahan tersebut.
Apabila
rentang antara khithbah dengan pernikahan ternyata cukup jauh, maka
harus tetap adanya upaya untuk saling menjaga diri dalam keimanan dan
ketakawaan kepada Allah Swt. Karena dalam rentang ‘masa penantian’
tersebut sangat mungkin muncul godaan-godaan untuk terjerumus pada
pelanggaran syari’at ataupun godaan untuk berpaling kepada seorang
calon yang lain, dan sebagainya. Namun bagi seorang mukmin tentu harus
mewaspadai hal ini, sehingga senantiasa diperlukan adanya upaya diantara
keduanya untuk saling berkomunikasi dan mengingatkan pada ketakwaan,
yaitu:
Dan
barang siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia shaum karena
sesungguhnya shaum itu merupakan benteng (HR. Ahmad, Bukhari dan
Muslim).
Barang
siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak boleh sekali-kali
ia menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya,
sebab nanti yang ketiganya adalah syetan (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9]:71)
Ataupun, juga perintah-Nya:
Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
(QS.Al-Maidah[5]:2)
Keberlangsungan
khitbah pada waktunya akan berakhir pada satu diantara dua pilihan
yaitu berlangsungnya akad pernikahan atau terjadinya pembatalan
khitbah. Kedua hal ini merupakan konsekuensi yang relevan dengan fungsi
dan tujuan khithbah itu sendiri, sehingga jangan sampai dianggap
sebagai ending of story yang harus dipaksakan. Karena pernikahan yang
terpaksa hukumnya tidak sah, dan pembatalan khithbah tanpa alasan yang
syar’i juga tidak diperkenankan.
IV. Pembatalan Khithbah
Dalam
melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan
oleh kedua belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter,
sikap, dan sebagainya, satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi
khithbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di
dalamnya terdapat aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh dengan
cara yang ma’ruf, maka apabila ketika dalam aktifitas ta’aruf tersebut
salah satu pihak menilai dan mempertimbangkan adanya ketidakcocokan
antara dirinya terhadap calon pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak
untuk membatalkan khithbah tersebut.
Pembatalan
khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan.
Menganggap hal ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru,
misal ada anggapan bahwa pembatalan khithbah terjadi karena adanya
penilaian bahwa salah satu calon bagi calon yang lainnya memiliki
banyak kekurangan kemudian ia pun menganggap sebagai pihak yang tidak
akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya (setelah
diputuskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan tersebut
dinilai telah berimplikasi pada kegagalan khithbahnya dengan seseorang.
Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya karena
lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.
Seperti
halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah
dengan pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak
menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu
diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan
pembatalan tersebut terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah
pihak menemukan kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai
kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya
akhlak yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup yang
menyimpang dari mabda islam, memiliki kelainan seksual, berpenyakit
menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat
menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila
berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah. Selain
pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khithbah juga berlaku
apabila adanya qada dari Allah Swt semisal kematian yang menimpa salah
satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan.
Selain atas dasar alasan-alasan yang syar’i, maka pembatalan khithbah
tidak boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama
lain dan merupakan ciri dari orang-orang yang munafik, karena telah
menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhithbahnya.
Sifat
orang munafik itu ada tiga; apabila berkata ia berdusta, bila
berjanji, ia menyalahi, dan bila dipercaya ia berkhianat. (HR. Bukhari)
Adapun
berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai hadiah/
hibah dan dilakukan sebelum pembatalan khithbah, maka sesuatu/benda
tersebut tetap menjadi hak milik pihak penerima. Pihak pemberi, juga
tidak boleh meminta kembali sesuatu/ benda yang pernah diberikannya
tersebut.
Rasulullah Saw pernah bersabda:
Tidak
halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan
sesuatu, meminta kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada
anaknya (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmizi, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas)
Muhammad
Thalib (2002:76) mengungkapkan sebagai berikut, membatalkan pinangan
adalah menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat
perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janji dalam pinangan, islam
tidak menjatuhkan hukuman materiil, sekalipun perbuatan tersebut
dipandang cela oleh sebagian orang.
Mahar
yang telah diberikan oleh peminang (untuk pernikahan nantinya) kepada
pinangannya berhak diminta kembali bila akad pernikahannya tidak jadi
(karena mahar itu hanya diberikan sebagai ganti dan imbalan dalam
pernikahan). Selama akad pernikahan belum terjadi, maka pihak perempuan
belum mempunyai hak untuk memanfaatkan mahar tersebut sekalipun telah
ia dapatkan.
Adapun
berbagai pemberian dan hadiah (selain mahar) maka hukumnya berbeda
dengan hukum mahar, yaitu sebagai hibah. Secara syar’i, hibah tidak
boleh diminta kembali, karena merupakan suatu derma sukarela dan tidak
bersifat sebagai penggantian atas sesuatu. Bila barang yang dihibahkan
telah diterima dari si pemberi, maka bagi pihak penerima barang
tersebut sudah menjadi kepemilikan bagi dirinya dan ia berhak untuk
memanfaatkannya.
Iwan
Januar (2005:4) mengungkapkan bahwa sikap terbaik ketika seorang
mukmin menghadapi kenyataan ini (pembatalan khithbah) adalah berserah
diri kepada Allah Swt serta hanya memohon kebaikan kepada-Nya.
Rasulullah Saw, bersabda:
Menakjubkan
keadaan seorang mukmin! Sebab, segala keadaannya untuknya adalah baik,
dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin: Jika
ia mendapat nikmat maka ia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan
jika ia menderita kesusahan ia bersabar, maka itupun baik baginya.
(HR. Muslim)
Demikianlah
sekilas pandangan tentang proses khitbah serta beberapa hal yang
terkait di dalamnya, semoga dapat memberikan pencerahan dan motivasi
kepada sahabat-sahabat untuk segera merealisasikan keinginan yang
selama ini telah menggebu-deru, namun masih terpendam dalam seolah
enggan untuk nampak kepermukaan karena terkekang oleh perasaan malu-malu
dan unselfconffident (tidak percaya diri). Padahal, sesungguhnya ia merupakan sesuatu yang
wajar dan boleh kita lakukan dengan disertai adanya kesiapan untuk
memikul apapun resikonya
Wallahu a'lam bish showab.