Jika seorang lelaki ingin menarik
hati seorang wanita, biasanya yang ditebarkan adalah berjuta-juta kata puitis
bin manis, penuh janji-janji untuk memikat hati, “Jika kau menjadi istriku
nanti, percayalah aku satu-satunya yang bisa membahagiakanmu,” atau “Jika
kau menjadi istriku nanti, hanya dirimu di
hatiku”
dan “bla…bla…bla…” Sang wanita pun tersipu
malu, hidungnya kembang kempis, sambil menundukkan kepala,
“Aih…aih…, abang bisa aja.” Onde mande, rancak bana !!!ALAMAK
Lidah yang biasanya kelu untuk berbicara saat
bertemu gebetan, tiba-tiba jadi luwes, kadang dibumbui ‘ancaman’ hanya karena
keinginan untuk mendapatkan doi seorang.
Kalo ada yang coba-coba main mata ama si doi, “Jangan macem-macem lu, gue
punya nih!” Amboi… belum dinikahi kok udah ngaku-ngaku miliknya dia ya?
Lha, yang udah nikah aja ngerti kalo pasangannya itu sebenarnya
milik Allah SWT.
Emang iya sih, wanita biasanya lebih terpikat
dengan lelaki yang bisa menyakinkan dirinya apabila ntar udah menikah bakal
selalu sayang hingga ujung waktu, serta
bisa membimbingnya kelak kepada keridhoan Allah SWT.
Bukan lelaki yang janji-janji mulu, tanpa
berbuat yang nyata, atau lelaki yang gak
berani mengajaknya menikah dengan 1001 alasan yang di buat-buat.
Kalo lelaki yang datang serta mengucapkan janjinya
itu adalah seseorang yang emang kita kenal taat ibadah, akhlak serta budi
pekertinya laksana Rasulullah SAW atau Ali
bin Abi Thalib r.a.,
ini sih gak perlu ditunda jawabannya, cepet-cepet kepala dianggukkan, daripada
diambil orang lain, iya gak? Namun realita yang terjadi, terkadang yang datang
itu justru tipe seperti Ramli, Si Raja Chatting, atau malah Arjuna,
SiPencari Cinta, yang hanya mengumbar janji-janji palsu, lalu bagaimana sang
wanita bisa percaya dan yakin dengan janjinya?
Nah…
Berarti masalahnya adalah bagaimana cara kita menjelaskan calon pasangan untuk percaya dengan kita? Pusying…pusying… gimana caranya ya?
Berarti masalahnya adalah bagaimana cara kita menjelaskan calon pasangan untuk percaya dengan kita? Pusying…pusying… gimana caranya ya?
Ih. .nyantai aja, semua itu telah diatur dalam
syariat Islam kok, karena caranya bisa dengan proses ta’aruf.
Apa sih yang harus dilakukan dalam ta’aruf? Apa iya, seperti ucapan janji- janji seperti
diatas?
Ta’aruf sering diartikan ‘perkenalan’, kalau dihubungkan dengan pernikahan maka ta’aruf
adalah proses saling mengenal antara calon laki-laki dan perempuan sebelum
proses khitbah dan pernikahan.
Karena itu perbincangan dalam ta’aruf menjadi sesuatu yang penting sebelum melangkah ke
proses berikutnya. Pada tahapan ini setiap calon pasangan dapat
saling mengukur diri, cocok gak ya dengan dirinya. Lalu, apa aja sih
yang mesti diungkapkan kepada sang calon saat ta’aruf?
1.
Keadaan Keluarga
Jelasin ke calon pasangan tentang anggota keluarga
masing-masing, berapa jumlah sodara, anak
keberapa, gimana tingkat pendidikan, pekerjaan, dll. Bukan apa-apa,
siapa tahu dapatcalon suami yang anak tunggal, bokap ama nyokap kaya 7
turunan, sholat dan ibadahnya bagus banget, guanteng abis, lagi
kuliah di Jepang (ehm), pokoknya selangit deh! Kalo ketemu tipe
begini, sebelum dia atau mediatornya selesai ngomong langsung kasih
kode, panggil ortu ke dalam bentar, lalu bilang “Abi, boljug tuh
kaya’ ginian jangan dianggurin nih. Moga-moga gak lama lagi langsung
dikhitbah ya Bi, kan bisa diajak ke Jepang!” Lho?
2.
Harapan dan Prinsip Hidup
Warna kehidupan kelak ditentukan dengan visi misi suatu keluarga lho,terutama sang
suami karena ia adalah qowwan dalam suatu keluarga.
Sebagai pemimpin ia laksana nahkoda sebuah bahtera, mau jalannya lempeng atau sradak-sruduk, itu adalah kemahirannya dalam memegang kemudi. Karena itu setiap calon pasangan kudu tau harapan dan prinsip hidup masing-masing. Misalnya nih, “Jika kau menjadi istriku nanti, harapanku semoga kita semakin dekat kepada Allah” atau “Jika kau menjadi istriku nanti, mari bersama mewujudkan keluarga sakinah, rahmah, mawaddah.” Kalo harapan dan janjinya seperti ini, kudu’ diterima tuh, insya Allah janjinya disaksikan Allah SWT dan para malaikat. Jadi kalo suatu saat dia gak nepatin janji, tinggal didoakan, “Ya Allah… suamiku omdo nih, janjinya gak ditepatin, coba deh sekali-kali dianya…,” hush…! Gak boleh doakan suami yang gak baik lho, siapa tahu ia-nya khilaf kan?
Sebagai pemimpin ia laksana nahkoda sebuah bahtera, mau jalannya lempeng atau sradak-sruduk, itu adalah kemahirannya dalam memegang kemudi. Karena itu setiap calon pasangan kudu tau harapan dan prinsip hidup masing-masing. Misalnya nih, “Jika kau menjadi istriku nanti, harapanku semoga kita semakin dekat kepada Allah” atau “Jika kau menjadi istriku nanti, mari bersama mewujudkan keluarga sakinah, rahmah, mawaddah.” Kalo harapan dan janjinya seperti ini, kudu’ diterima tuh, insya Allah janjinya disaksikan Allah SWT dan para malaikat. Jadi kalo suatu saat dia gak nepatin janji, tinggal didoakan, “Ya Allah… suamiku omdo nih, janjinya gak ditepatin, coba deh sekali-kali dianya…,” hush…! Gak boleh doakan suami yang gak baik lho, siapa tahu ia-nya khilaf kan?
3.
Kesukaan dan Yang Tidak Disukai
Dari awal sebaiknya dijelasin apa yang disukai, atau apa yang kurang disukai, jadinya
nanti pada saat telah menjalani kehidupan rumah tangga bisa saling
memahami, karena toh udah dijelaskan dari awalnya. Dalam pelayaran
bahtera rumah tangga butuh saling pengertian, contoh sederhananya,
istri yang suka masakan pedas sekali-kali masaknya jangan terlalu
pedas, karena suaminya kurang suka. Suami yang emang hobinya
berantakin rumah (karena lama jadi bujangan), setelah menikah mungkin bisa
belajar lebih rapi, dll.
Semua ini menjadi lebih mudah dilakukan karena telah dijelaskan saat
ta’aruf. Namun harus diingat, menikah itu bukan untuk merubah pasangan lho, namun juga lantas bukan bersikap seolah-olah belum menikah. Perubahan sikap dan kepribadian
dalam tingkat tertentu wajar aja-kan? Dan juga hendaknya perubahan yang terjadi adalah natural, tidak saling memaksa.
ta’aruf. Namun harus diingat, menikah itu bukan untuk merubah pasangan lho, namun juga lantas bukan bersikap seolah-olah belum menikah. Perubahan sikap dan kepribadian
dalam tingkat tertentu wajar aja-kan? Dan juga hendaknya perubahan yang terjadi adalah natural, tidak saling memaksa.
4.
Ketakwaan Calon Pasangan
Apa yang terpenting pada saat ta’aruf? Yang mestinya menduduki prioritas tertinggi
adalah bagaimana nilai ketakwaan lelaki tersebut. Ketakwaan disini
adalah ketaatan kepada Allah SWT lho, bukan nilai
‘KETAKutan WAlimahAN’ Karena apabila seorang lelaki senang, ia akan
menghormati istrinya, dan jika ia tidak menyenanginya, ia tidak suka
berbuat zalim kepadanya. Gimana dong caranya untuk melihat lelaki
itu bertakwa atau tidak? Tanyakan kepada orang-orang yang
dekat dengan dirinya, misalnya kerabat dekat, tetangga dekat,
atau sahabatnya tentang ketaatannya menjalankan ketentuan pokok
yang menjadi rukun Iman dan Islam dengan benar. Misalnya
tentang sholat 5 waktu, puasa Ramadhan, atau pula gimana sikapnya
kepada tetangga atau orang yang lebih tua, dan lain-lain. Apalagi
bila lelaki itu juga rajin melakukan ibadah sunnah, wah… yang begini
ini nih, ‘calon suami kesayangan Allah dan mertua.’ Inget lho,
ta’aruf hanyalah proses mengenal, belum ada ikatan untuk kelak pasti
akan menikah, kecuali kalau sudah masuk proses yang namanya khitbah.
Nah kadang jadi ‘penyakit’ nih, karena alasan “Kan masih mau ta’aruf
dulu…” lalu ta’rufnya buanyak buanget, sana-sini dita’arufin. Abis
itu jadi bingung sendiri, “Yang mana ya yang mau diajak nikah, kok
sana-sini ada kurangnya?”
Wah…, kalo nyari yang mulia seperti Khadijah,
setaqwa Aisyah atau setabah Fatimah Az-Zahra, pertanyaannya apakah diri ini pun sesempurna Rasulullah SAW
atau sesholeh Ali bin Abi Thalib r.a.?
Nah lho…!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar